opening Sentak [juli -----Museum Affandi]


Keteraturanpun kebebasan

Mengalami dan mengamati gejala/fenomena berkarya dari seniman muda Indonesia, yogya khususnya terasa sangat dinamis dan kompetitif. Salah satu sebabnya mungkin karena mulai diakuinya seni kontemporer Indonesia dipasar Asia melalui lelalng Christie, Sotheby dan pameran-pameran regional Asia. Tentu ini menimbulkan keinginan dari seniman-seniman lainnya/juniornya untuk bisa mencapai apa yang dicapai oleh seniornya, baik aktualisasi seniman, maupun hasil financial. Ini berakibat juga pada kecenderungan karya beberapa seniman muda yogya menjadi agak “serupa” dengan karya-karya seniman yang mapan. Gejala inilah yang menjadikan salah satu latar belakangupaya dari kelompok Sentak ini untuk menawarkan/mengingatkan kembali bahwa berkarya semestinya mengandalkan kepada kemurnian jati dirinya, apapun gayanya.
Kelompok ini menyajikan gaya yang belum sangat popular karena hanya menggunakan bidang, garis dan warna, itu saja. Bentuk direduksi/ditiadakan, garis-garis liar, bentuk yang nyaris plastis tidak nampak. Semua indicator tentang keliaran yang sering diasosiasikan kebebasan hamper tidak bisa kita temukan. Sesuai dengan visualnya, karya-karya ini Nampak dikerjakan teratur. Oleh karena itu sesuai dengan slogan kelompok ini yaitu keteraturan adalah kebebasan. Mengusik bukan?teratur kok bebas? Mungkin saya akan menjembatani pesan ini dengan kalimat ”Keteraturan pun kebebasan”. Karena khawatirnya jika pernyataan dilanjutkan, keteraturan adalah kebebasan, lalu ketidak-teraturannya posisinya dimana? Nanti malah menjadi ketidak-teraturan adalah ketidak-bebasan.
Paradigmana kita terlanjur cenderung menganggap bahwa yang bebas itu visualnya menunjukkan kespontanan, keliaran, ketidak-teraturan. Padahal bagi mereka, visual yang teratur ini tetap lahir dari sebauh ekspresi yang bebas, hanya beda selera, beda cara, beda penedekatan. Inilah pesan utama dari kelompok ini, mungkin ada beberapa contoh yang bisa diambil. Kalau kita mengingat karya klasik seperti Mondrian, diamsa itu, dia memilih mengekspreiskan jati dirinya secara bebas  melalui komposisi bidang, garis dan warna saja. Namun apa yang kita rasakan? Kebebasan itu jelas ada, kejujuran juga jelas ada, keartistikan juga jelas ada, kecerdasan juga jelas ada. Sedangkan dimasa itu mungkin jauh dari gaya kerumunan, bahkan ada semacam “penemuan”.
Ini yang mungkin untuk kita sadari dan pahami bersama bahwa ternyata perlu paradigma yang supel, yang terbuka, sehingga kita bisa jernih mengapresiasi, jernih memilah, jernih merasakan kekuatan-kekuatan yang beragam secara proporsional. Memang saya akui hal ini tidaklah mudah, perlu banyak laci-laci dalam benak kita.
Misi yang lain dibawa mestinya ajakan bagi seniman Indonesia untuk tidak terpengaruh, tepatnya tidak terganggu dengan trend. Mengembalikan lagi pada hakekat proses penciptaan karya dengan murni tanpa mengurangi pentingnya dan pengaruh/inspirasi dari karya-karya lain ataupun hal-hal lain.
Misi yang lain dibawa mestinya ajakan bagi seniman Indonesia untuk tidak terpengaruh, tepatnya tidak terganggu dengan trend. Mengembalikan lagi pada hakekat proses penciptaan karya dengan murni tanpa mengurangi pentingnya dan pengaruh/inspirasi dari karya-karya lain ataupun hal-hal lain. Bagi saya, beda seyogyanya adalah bukan target, karena jika beda itu target maka bagi mereka sendiripun akan mungkin terjebak ketidakmurnian jati diri. Sebenarnya saya suka gaya realis, namun karena banyak yang realis, maka saya abstrak saja biar beda, biar kelihatan. Hal seperti ini tidak akan total hasilnya, karena bukan perwujudan jati diri. Biarkan berkarya sesuaidengan apa yang paling disukai, paling diinginkan, paling tertarik. Dan ternyata kalau berbeda, ya… sudah. Dan kalau ternyatatrend saat itu, ya… sudah.
Jadikan perubahan gaya itu merupakan akibat perubahan diri senimannya. Berubah karya karena perubahan pandangan, ketertarikan, selera, pemahaman,dll. Saya juga perlu mengingatkan kelompok ini bahwa sikap dan pilihan bergaya seperti ini juga mengandung resiko finansial, walaupun tidak secara aktualisasi keseniman. Jadi integritas dan komitmen yang tinggi sangat dibutuhkan untuk bisa terus konsisten memperjuangkan tujuan kemurnian ekspresi seperti ini, seniman sebaiknya selalu mempersiapkan reaksi yang setara antara berhasil dan gagal atas segala sesuatu yang kita perjuangkan.
Kita semua pantas mendukung semangat-semangat seperti ini. Ikut mencoba untuk belajar menikmati kekuatan rasa dan keindahannya, sehingga keragaman karya seni akan semakin memperkayawawasan estetita, memperkaya kedinamisan, dan memperkaya perwujudan keunikan individu masing-masing, yang tampil apa adanya tanpa terpengaruh/terbebani/terbelenggu pada langgam/gaya tertentu.

Simon Tan Kian Bing
Yogyakarta, 2007 

preview

Kampuang Sakato

Kampuang Sakato
next event at 21 mei 2016

2010: RECENT WORK OF SENTAK

2010: RECENT WORK OF SENTAK
pada karya Sudut-sudut Aksentusi (2009), sesekali ia membingkai karya milik master dunia Piet Mondrian dengan karyanya seperti pada karya I Give You Frame… Mr Cornelis(2009). Semangat “bermain api” dengan sejarah tampak menjadi penting pada karya-karyanya saat ini. ....

WEST A Curatorial Introduction By Mikke Susanto...

WEST   A Curatorial Introduction  By Mikke Susanto...
..... Namun pada umumnya karya-karya para peserta pameran ini (termasuk pemakaian lanskap dalam karya mereka) banyak terkait dengan prinsip dan konsepsi religi yang mereka anut. Adanya dalil mengenai larangan menggambar manusia yang diambil dari hadist Nabi Muhammad, rupanya masih menjadi perkara utama. Artinya pada karya-karya yang secara fisik merupakan tradisi Barat; dengan penampilan visual yang juga Barat, namun masih terdapat konsepsi agama dalam karya-karya mereka. Maka lihatlah betapa objek berupa makhluk hidup hampir tak terdeteksi pada karya-karya mereka, misalnya pada karya-karya Antoni Eka Putra, Rinaldi, Julnaidi, Feri Eka Candra, Zulkarnaini dan Yon Indra (dua nama terakhir sesekali juga melukis figur). Inilah yang menjadikan karya-karya perupa Minang berbeda.